Solusi Sehat

Rabu, 20 Agustus 2008

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

DEFINISI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Dengan jelas, terdapat kerumitan dalam mendefinisikan MBS (dan istilah-istilah yang dipakai untuk merujuk pada reformasi tersebu, seperti dicatat dimuka), yang membuatnya penting utnuk membedakan antara tipe-tipe MBS yang berbeda. Ini diuraikan pada Bab 2, dengan meninjau beberapa studi kasus tentang reformasi MBS disejumlah negar. Telaah atas dua definisi komprehensif mengenai MBS diperlukan. Definisi pertama menyatakan :

Manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang (Malen,Ogawa dan Kranz, 1990, hlm.1)

Defenisi kedua konsep MBS sebagai berikut :

…suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apap yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa, ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah khusus itu, personil sekolah akan mengembangkan program-program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui para siswa dan kebutuhan-kebutuhan mereka (candoli, 1995, hlm. XI).

Halinnger, Murphy dan Hausman (1992) menunjuk MBS sebagai terdiri dari usaha-usaha untuk : mendesenralisasikan organisasi, manajemen, dan penyelenggaraan pendidikan; memberdayakan infrastruktur trsebut lebih dekat dengan para siswa diruang kelas (yaitu para guru, orang tua, dan kepala sekolah); menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi para pelaku dalam system tersebu; dan menstranformasikan proses belajar-mengajar yang berkembang diruang kelas (hlm, 330). Model ini mencakup perecanaan penyelenggaraan pendidikan dimana kewenangan dan tanggung jawab atas fungsinya sekolah itu sendiri ditanggung bersama antara kantor pusat (kementrian, Departemen pendidikan, Kantor Daerah,Otoritas Pendidikan Lokal, dan seterusnya), dan pegawai berbasis sekolah(para guru, kepala sekolah, dewan sekolah, dan seterusnya), yang kesemuanya bekerja sebagai professional, kolega yang bekerja sama. Model ini dibedakan

Oleh suatu agenda berbeda yang mencolok sekali dan mengasyikkan, mencakup; sekolah itu sendiri sebagai unit pembuatan keputusan, pengembangan kolegial, lingkungan yang partisipatoris antara siswa dan staf; pemanfaatan waktu yang fleksibl; personalisasi lingkungan sekolah meningkat dengan suatu atmosfer kepercayaan bersama, pengharapan yang tinggi, dan rasa kejujuran;suatu kurikulum yang terfokus pada pemahaman para siswa tntang apa yang mereka pelajari –mengetahui ‘kenapa’ dan juga’bagaimana’; serta penekanan pada kemampuan tertib berpikir yang lebih tinggi bagi semua siswa (Michaels, 1988, hlm.3)

MBS menurut partispasi lebih besar dari staf dan para orang tua dalam proses pembuatan kebijakan dan keputusan disekolah.menurut ketentuan, keputusan-keputusan dibuat secara kolektif dan kolegial oleh para stakeholder yang relevan, bukan oleh kepala sekolah secara individual atau wakilnya. Dalam konteks MBS, terdapat beberapa kesempatan bagi peningkatan profesionalisme staf dan kerja sama staf -orang tua dalam pendidikan siswa (Campbell-Evans, 1993, hlm.93). Dengan jelas, konsep tersebut menunjukkan bahwa orang tua dan guru mengetahui para siswanya yang terbaik, dan melalui usaha-usaha kerja sama, mereka dapat mengembangkan program-program yang tepat yang dibutuhkan anak-anak mereka. Konsep tersebut menegaskan bahwa keputusan-keputusan tertentu merupakan bidang lingkungan sekolah lokal dan, dengan demikian, lebih diutamakan dari pada kantor pusat mengenai keputusan-keputusan tersebut.

Perkembangan kelompok-kelompok pembuat keputusan berbasis sekolah tersebut dan proses perencanaan pembangunan sekolah adalah beberapa contoh gerakan kearah desentralisasi lebih besar. Dalam bentuk sederhana, MBS menggambarkan suatu kumpulan praktik dimana semakin banyak orang ditingkat sekolah membuat keputusan-keputusan bagi sekolah. MBS sering mulai dengan suau pendelegasian kewenangan-kewenangan tertentu dari kantor pusat ke sekolah-sekolah yang mungkin mencakup serangkaian kewenangan dari beberapa bidang terbatas kehampir segala sesuatu.

Apa yang didesentralisasi

Secara khusus, keputusan-keputusan yang didesentralisasi adalah secara langsung berpengaruh pada siswa, misalnya, keputusan program pendidika, keputusan kurikulum, keputusan alokasi waktu, dan keputusan instruksional (Candoli, 1995,hlm.1). Dalam konteks MBS, Caldwell dan Spinks (1992, hlm. 4), disisi lain, memandang desentraliasi sebagai “ keputusan-keputusan yang dibuat ditingkat sekolah sesuai dengan suatu kerangka garis pedoman dan kebijakan local, nasional atau negara”. Disini, sekolah tetap bertanggung jawab terhadap suatu kewenangan puasat atas cara bagaimana beberapa sumberdaya dialokasikan. Bagi para penulis tersebut, sumberdaya didefinisikan secara luas mencakup:

· Pengetahuan (knowledge): desentralisasi keputusan berkaitan berkaitan dengan kurikulu, termasuk keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan;

· Teknologi (technology): desentralisasi keputusan mengenai saran belajar-mengajar;

· Kekuasaan (power): desentralisasi kewenangan dalam membuat keputusan;

· Manusia (people): desentralisasi keputusan mengenai sumberdaya manusia, termasuk pengembangan profesionalisme dalam hal-hal berkaitan dengan proses belajar mengajar, serta dukungan terhadap proses belajar-mengajar;

· Waktu (time): desentralisasi keputusan mengenai alokasi waktu;

· Keuangan (finance): desentralisasi keputusan mengenai aolkasi keuangan (Caldwel dan spinks, 1992,hlm.4-5).

Disini, sumber daya didefinisikan secara luas mencakup sumberdaya manusia dan kapital, yang ditransformasikan kedalam pengalaman belajar dan kurikulum (pengetahuan dan teknologi), dan juga otonomi penggunaan sumberdaya tersebut. Bullock dan Thomas (1997, hlm. 7-8) mengelompokkan lingkup desentralisasi meliputi :

· Penerimaan (admisson): desentralisasi keputusan tentang siswa-siswa yang mana akan diterima disekolah;
· Penilaian (assessment): desentralisasi keputusan tentang berapa siswa akan dinilai;

· Informasi (informatioan): desentralisasi keputusan tentang seleksi data yang akan dipublikasikan mengenai kinerja sekolah; dan

· Pendanaan (funding): desentralisasi keputusan tentang ketetapan uang masuk bag penerimaan siswa.

Sekali lagi, sementara beberapa negara telah menjalankan segala cara dalam memperluas hak beberapa sekolah untuk membuat keputusan-keputusan tersebut, beberapa negara lainnya lebih membatasi fleksibiitas desentralisasi pada keputusan-keputusan tersebut mengenai kurikulum serta model pengajaran dan pembelajaran, dari pada menyerahkan seluruh upaya perencanaan strategis kepada sekolah itu sendiri. Disisi lain, walaupun metode pelaksanaan program biasanya diserahkan kepada kepala sekolah itu sendiri, pemenuhan tujuan strategis nasional secara langsung berpengaruh pada program dilingkungan local. Olh sebab itu, menjadi penting bagi setiap sekolah mengembankan suatu perencanaan pengembangan sekolah, yang didasarkan pada perencanaan system stratgis. Melalui negoisasi dengan kantor pusat, perencanaan tersebut disepakati dan batas waktu ditentukan untuk implementasi. Perencanaan ini menjadi dokumen dimana sekolah dievaluasi pada tahun-tahun akademik mendatang. Kadang-kadang, perencanaan tersebut memungkinkan partisipasi yang tepat dari dewan sekolah, orang tua, administrator sekolah dan kepala sekolah, para guru dan kelompok-kelompok berkepentingan lainnya, bahkan terkadang para siswa.

Untuk mencapai efisien dan efektivitas lebih baik dalam manajemen dan alokasi sumberdaya, yan menggambarkan MBS, beberapa negara telah mendelegasikan pelbagai keputusan kepada sekolah berkaitan dengan alokasi sumberdaya (inngris dan negara bagian Victoria, Australia, adalah dua contoh). Beberapa system pendidikan dinegara-negara tersebut melakukan pemaksaan konsep performance dan akuntabilitas kepada sekolah. Perencanaan baru tersebut menuntut keahlian dalam banyak ketrampilan dari (dewan) penyelenggara sekolah, kepala sekolah dan masyarakat, yang harus diberikan system tersebut dalam satu bentuk atau lainnya melalui in-service training khusus dan professional (lihat Bab 3).

Manajemen berbasis sekolah; mengapa?

Pada dasarnya, pendidikan tunduk kepada tuntutan-tuntutan banyak pemilih. Pemerintah, baik local maupun nasional, para pakar pendidikan, siswa dan anggota masyarakat lainnya semuanya mempunyai harapan terhadap system tersebut dimana mereka berinteraksi. Setiap kelompok mempunyai nilai dan prioritas berbeda dan dengan demikian, isu-isu seperti itu perencanaan dan alokasi sumberdaya sering menjadi isu-isu politik, yang bergantung pada siapa yang berkuasa dan kelompok kepentingan mana memiliki pengarung paling kuat.

Banyak negara telah melangkah kearah penyeimbangan ulang struktur kewenangan, birokrasi sederhana, dan perkembangan perhatian yang besar trhadap pelimpahan pembuatan keputusan dan sumberdaya yang jauh dari kontrol pusat terhadap institusi-istitusi dimana pendidikan diselenggarakan. Secara khusus, beberapa negara tersebut telah mengaburkan suatu garis tegas yang memisahkan sekolah-sekolah negeri dan swasta melalui penciptaan ‘sekolah-sekolah manajemen pmandiri’—sering digambarkan sebagai MBS. Chapman (1988, hlm. 249) mencatat bahwa reformasi tersebut merupakan minat khusus bagi mereka yang peduli terhadap efektivitas sekolah, karena ia mengusahakan peningkatan sekolah melalui penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah yang demokratis, dengan keterlibatan staf dan masyarakat luas mengharuskan suatu perbaikan peran manajemen bagi kepala sekolah.

Pelbagai pandangan telah didukung untuk menjelaskan kecenderungan kearah MBS ini. David (1990, hlm. 6-7) mengemukakan hal tersebut sebagai berikut. Bagi beberapa pakar, MBS adalah “suatu reformasi penyelenggaraan pendidikan yang dirancang untuk mengubah keseimbangan kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah dan pusat. Kecenderungan ini menjadi alasan dibalik beberapa upaya negara daripada reformasi distrik”. Hal ini sering merupakan bagian dari suatu agenda reformasi lebih besar yang mengklaim memberi otonomi sekolah demi akuntabilitas kepada negara (pemerintah puasat). Bagi pakar lainnya, MBS adalah “ suatu reformasi politik yang diajukan untuk memperluas basis pembuatan keputusan, baik dalam sekoah, masyarakat lebih luas, maupun keduanya. Tetapi demokratisasi pembuatan keputusan sebagai sebuah tujuan dalam dirinya menyisakan pertanyaan tentang siapa yang seharusnya dilibatkan dalam setiap keputusan.” Sesungguhpun begitu, terdapat mereka yang memandang MBS “sebagai suatu reformasi administrative untuk menjadikan manajemen lebih efisien melalui desentralisasi dan deregulasi. Disini pun, efesiensi manajemen agaknya melayani tujuan utama organisasi pembelajaran siswa.” Namun, premis lain reformasi (MBS) adalah bahawa “cara untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa ialah membiarkan para professional pendidikan membuat keputusan-keputusan professional yang penting.” Bagaimanapun, inti MBS adalah “ide tentang pembuatan keputusan yang partisipatiros dilingkungan sekolah. Dan meskipun semua perbedaan tersebut ada alasannya, tujuan utamanya yang disebutkan adalah untuk mningkatkan prestasi siswa. Pembuatan keputusan yang prioritas dan peningkatan sekolah dianggap berkaitan, tetapi hal itu tidak selalu demikian.”

Desentralisasi memungkinkan keterlibatan masyarakat local lebih besar dalam menentukan tujuan dan kebijakan sekolah mengenai pengajaran dan pemelajaran anak mereka. Banyak orang meyakini bahwa keterlibatan masyarakat yang meningkat ini memiliki suatu pengaruh bermanfaat pada pendidikan anak muda. Untuk memungkinkan peningkatan pembuatan keputusan local ini berjalan, harus ada devolusi (pelimpahan) pendanaan ke sekolah. Hal ini akan memungkinkan dukungan finansial bagi perencanaan pendidikan, yang menjamin bahwa beberapa sumberdaya dialokasikan untuk memenuhi prioritas-prioritas yang diidentifikasikan dalam beberapa kebutuhan sekolah. Besaran devolusi bervariasi dari negara ke negara, tetapi kecenderungan adalah pelimpahan ke sekolah sebanyak mungkin.

Read more...

Selasa, 19 Agustus 2008

SAIFURROHMAN: TIK DAN KEBERHASILAN BELAJAR

SAIFURROHMAN: TIK DAN KEBERHASILAN BELAJAR

Read more...

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP